Profesi juru masak hanya untuk orang yang berpikiran besi. Itu membutuhkan disiplin yang ketat, dedikasi yang sederhana, dan pengorbanan waktu yang di atas rata-rata. Sistemnya juga bekerja seperti di militer. Rantai komando di dapur ditegakkan dengan ketat, menyisakan sedikit ruang untuk debat dan pendapat, seringkali tanpa ampun untuk diabaikan dan salah.
Chef Degan meluncurkan buku biografi setelah berkarir selama empat dekade
Meski tantangannya berat, profesi memasak tetap menarik peminat. Mungkin karena hadiahnya menggiurkan. Di hotel, misalnya, gaji koki bisa menyamai atau bahkan melebihi gaji manajer umum. Dan ada bonus lain: Tidak seperti GM, koki memiliki kesempatan untuk menjadi selebritas.
Biografi Degan Septoadji menyimpang dari konteks ini. Banyak orang ingin menjadi koki, mungkin terpikat oleh prospek untung, tanpa benar-benar mengetahui apa yang diperlukan untuk melewati jalan yang sulit. Dengan menceritakan kisah hidupnya, Degan ingin menunjukkan realita kehidupan seorang chef, termasuk tantangan pekerjaan yang kerap luput dari layar TV.
Biografi Degan dipresentasikan pada Indonesia International Book Fair 2022 di Jakarta. Kanan: Chef Degan pernah bekerja di beberapa hotel ternama, antara lain Grand Hyatt Bali dan Banyan Tree Bangkok. (Foto: Istimewa Degan Septoadji)
Judulnya Degan Septoadji A Culinary Journey: Behind the Chef.
Buku itu diterbitkan tahun ini untuk menandai ulang tahun ke-55 Degan. Peluncuran berlangsung pada 13 November di Indonesia International Book Fair di Jakarta.
Sembilan bab pertama buku ini membahas aspek pribadi. Dimulai dari kisah Sudjarwati, ibu Degan, dilanjutkan dengan kisah ayahnya. Dari sini, pembaca diajak untuk mengikuti masa kecil Degan di Jerman – masa-masa hidup yang penuh duka dan membentuk karakternya.
Bab-bab selanjutnya berfokus pada karier kuliner Degan. Cerita berawal dari ketertarikan Degan pada profesi memasak setelah melihat proses kerja dapur kapal pesiar di sebuah acara TV. Dari sini jalur hidupnya langsung mengarah ke industri kuliner. Dari magang hingga hotel keluarga di Jerman, ia secara konsisten menaiki tangga karier menjadi koki de masakan.
Interior Letter D, sebuah restoran di Jakarta yang pernah dijalankan oleh Chef Degan. (Foto: Evan Praditya)
Lima bab terakhir buku ini mencakup kegiatan “ekstrakurikuler” Degan dalam diplomasi kuliner (memasak di kedutaan Indonesia di luar negeri), eksperimennya membuka restoran di Bali dan Jakarta, memulai bisnis katering, dan mengembangkan saluran YouTube.
Buku setebal 315 halaman ini ditulis sebagai orang ketiga.
Dalam epilognya, pengarangnya, Akmal Nasery Basral, mengaku menggunakan kerangka jurnalistik sastra yang “menggabungkan keakuratan tanggal dan fakta dalam penceritaan yang mengalir”.
Sebagai bahan edukasi yang notabene merupakan misi awal dari buku ini, biografi Degan layak untuk disinggung oleh mereka yang berkeinginan berkecimpung di dunia dapur, khususnya dapur hotel. Hampir empat dekade karirnya, portofolio Degan didominasi oleh pekerjaan sebagai chef hotel, termasuk di Grand Hyatt Bali, Atlantis Bahamas dan Banyan Tree Bangkok.
Waiter dan menu di Cafe Degan, Bali, restoran yang beroperasi dari tahun 2010 hingga 2017. (Foto: Putu Sayoga)
Buku terbitan Republik ini juga mendapat tempat penting dalam literatur kuliner nasional. Seorang koki yang menerbitkan kisah hidupnya adalah kasus yang jarang terjadi di Indonesia. Sebagian besar buku membahas resep atau petualangan gastronomi.
Satu poin kritik terhadap buku ini mungkin adalah kurangnya keberanian untuk membeberkan “kepelitan” bekerja di dapur. Bacaan kuliner ini sepertinya butuh bumbu tambahan. Berbeda dengan cerita dramatis dan vulgar dalam, katakanlah, Kitchen Confidential atau The Devil in the Kitchen, dapur dalam buku Degan ini lebih seperti keluarga harmonis yang kebanyakan orangnya ramah dan rukun satu sama lain. – Cristian Rahadiansyah
Baca Juga :